P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Bahaya Tersembunyi di Balik Kemudahan AI

Featured Image

Kebiasaan Baru di Tempat Kerja yang Menyulitkan

Kehadiran kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) generatif yang awalnya diharapkan bisa mempercepat dan memudahkan pekerjaan, kini justru menimbulkan tantangan baru. Alih-alih meningkatkan efisiensi, banjir konten hasil AI seperti ChatGPT atau Gemini dinilai menjadi beban tambahan bagi para pekerja.

Fenomena ini dikenal dengan istilah workslop, gabungan dari kata work (pekerjaan) dan slop (sampah). Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan ledakan konten yang dangkal dan membebani alur kerja organisasi. Laporan riset dari Harvard Business Review (HBR) bersama Stanford dan BetterUp menunjukkan bahwa masalah utama bukan lagi kekurangan informasi, melainkan sebaliknya, terlalu banyak informasi yang minim nilai.

Biaya Tersembunyi dari Konten AI

Dari luar, dokumen yang dihasilkan AI sering tampak rapi dan menjanjikan. Namun, ketika dibuka, pembacanya sering bingung dan merasa terganggu. Pertanyaan pertama yang muncul biasanya "Apa, sih, maksudnya?" Sebelum akhirnya mereka menyadari bahwa waktu yang terbuang hanya untuk memahami maksud sebenarnya.

Penelitian dari Stanford Social Media Lab dan BetterUp Labs menyebutkan bahwa 40 persen pekerja profesional di Amerika Serikat mengaku pernah menerima konten seperti itu dalam sebulan terakhir. Kondisi inilah yang disebut para peneliti sebagai workslop. Berbeda dari kekhawatiran lama tentang mesin yang menggantikan manusia, workslop justru menandai era ketika mesin digunakan manusia untuk "melempar" pekerjaan, dan beban kognitifnya, kepada rekan kerja.

Dokumen hasil AI kerap tampak rapi di permukaan, tetapi miskin konteks dan menambah beban kognitif rekan kerja. Setiap kasus workslop dapat menghabiskan satu hingga dua jam untuk diperbaiki atau ditulis ulang. Jika ditotal, perusahaan dengan 10.000 karyawan berpotensi kehilangan lebih dari 9 juta dollar AS per tahun akibat "limbah digital" ini.

Dampak pada Produktivitas dan Kesehatan Mental

Selain menurunkan produktivitas, workslop juga memicu kelelahan mental. Karyawan merasa terbebani ekspektasi agar selalu cepat menanggapi arus informasi, meskipun sebagian besar tidak berguna. Survei Stanford–BetterUp menunjukkan, satu dari tiga responden enggan bekerja sama dengan rekan yang kerap mengirim konten workslop. Hal ini mengikis kepercayaan, merusak kolaborasi, dan melemahkan etos kerja tim.

"Seperti membaca makalah mahasiswa tingkat awal setiap hari. Panjang, tapi isinya tipis," ujar seorang analis keuangan yang diwawancarai peneliti. Laporan HBR menekankan, dampak terbesar workslop adalah turunnya produktivitas sistemik. Meski jumlah dokumen, memo, dan presentasi meningkat, kualitas keputusan tidak bertambah baik.

Pengguna AI di Tempat Kerja

Peneliti Harvard membagi pengguna AI di tempat kerja menjadi dua kelompok, yaitu "penumpang" dan "pilot". Penumpang menggunakan AI sekadar untuk jalan pintas, tanpa memeriksa kualitas hasil. Sebaliknya, pilot mengarahkan AI dengan konteks yang jelas, meninjau ulang output, dan hanya memakai bagian yang relevan.

"Workslop mudah dibuat, tapi mahal untuk dibersihkan. Apa yang dikira jalan pintas, justru menjadi jalan buntu bagi tim," tulis BetterUp. Fenomena ini menandai pergeseran tantangan organisasi modern. Jika pada dekade lalu fokus utama adalah mempercepat akses informasi, kini tantangannya memastikan kualitas informasi untuk pengambilan keputusan.

Solusi untuk Menghadapi Workslop

AI generatif membawa kekuatan besar, tetapi tanpa kendali ia juga menghasilkan residu dalam jumlah sama besar. Dalam jangka panjang, hal ini merusak daya saing. Organisasi sibuk dengan tumpukan "sampah digital", sementara pesaing yang lebih selektif bisa melangkah lebih jauh.

Para pakar menilai solusi awal terletak pada kurasi internal dan literasi digital. Setiap dokumen hasil AI perlu diverifikasi manusia sebelum dipakai dalam rapat strategis. Standar kualitas juga harus ditegakkan agar AI berfungsi sebagai asisten, bukan beban.

Volume konten tidak otomatis berarti kualitas. Tanpa kurasi, organisasi hanya menukar efisiensi dengan banjir informasi. Perdebatan tentang manfaat dan risiko AI generatif masih panjang. Namun, satu hal yang jelas, volume semata tak bisa dijadikan tolok ukur produktivitas.

Organisasi yang ingin bertahan perlu melampaui euforia "lebih banyak, lebih cepat". Yang dibutuhkan justru kebijaksanaan memilih dan menyaring. Tanpa itu, janji efisiensi AI bisa berubah menjadi jebakan. Pekerja bukan terbebas dari tugas rutin, melainkan tenggelam dalam lautan konten yang tampak canggih, tetapi sesungguhnya hampa.

0

Posting Komentar

Komentar untuk berinteraksi dengan komunitas Brokerja.com. Dapatkan informasi tips terbaru disini.