P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Peneliti UII Mengamati APBN 2025: Di Tengah Kekuarnagan

Featured Image

Realisasi Belanja Negara Hingga Agustus 2025

Realisasi belanja negara hingga 31 Agustus 2025 mencapai angka sebesar Rp 1.960,3 triliun atau setara dengan 54,1 persen dari APBN 2025. Angka ini terdiri atas Belanja Pemerintah Pusat (BPP) yang telah terealisasi sebesar Rp 1.388,8 triliun dan Transfer ke Daerah (TKD) senilai Rp 571,5 triliun. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara dalam Konferensi Pers APBN Kita di Jakarta pada Senin, 22 September 2025.

Dalam realisasi BPP, Belanja Kementerian/Lembaga tercatat sebesar Rp 686,0 triliun atau 59,1 persen dari pagu APBN. Dana tersebut digunakan untuk berbagai penyaluran bantuan sosial, seperti PBI JKN untuk 96,7 juta peserta, PKH untuk 10 juta KPM, kartu sembako untuk 18,3 juta KPM, PIP untuk 11,3 juta siswa, dan KIP Kuliah untuk 895,9 ribu mahasiswa. Penyaluran dana dilakukan melalui validasi Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional serta pelaksanaan program prioritas pemerintah.

Selain itu, realisasi Belanja non-K/L tercatat sebesar Rp 702,8 triliun atau 45,6 persen dari pagu APBN. Dana ini digunakan untuk pembayaran manfaat pensiun dan subsidi tepat waktu agar masyarakat dapat menikmati barang dengan harga bersubsidi. Terdapat peningkatan realisasi subsidi untuk BBM, LPG, listrik, dan pupuk dibandingkan tahun 2024.

Beberapa data menunjukkan bahwa realisasi subsidi BBM meningkat sebesar 3,5 persen, LPG 3 kg naik 3,6 persen, listrik bersubsidi sekitar 3,8 persen lebih tinggi, dan pupuk meningkat sebesar 12,1 persen tonnya. Wamenkeu menyatakan harapan agar peningkatan ini terus membantu perekonomian masyarakat.

Tantangan APBN 2025

Dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Listya Endang Artiani, mengungkapkan bahwa APBN 2025 berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, APBN dituntut untuk menjaga stabilitas dan menopang pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain menghadapi tantangan berat berupa penerimaan negara yang melambat.

Data APBN Kita September 2025 menunjukkan bahwa hingga 31 Agustus 2025, realisasi pendapatan negara mencapai Rp 1.638,7 triliun atau sekitar 54,5 persen dari target APBN. Namun, angka ini turun sebesar 7,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Pelemahan penerimaan negara terutama berasal dari penerimaan perpajakan yang hanya mencapai Rp 1.330,4 triliun (55,7 persen outlook). Pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai menunjukkan tren kontraksi. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga turun tajam sebesar 20,1 persen akibat harga komoditas global yang melemah.

Listya Endang menyebutkan bahwa fenomena ini sejalan dengan teori commodity dependence dalam ekonomi pembangunan, yang menyatakan bahwa negara dengan struktur penerimaan pajak berbasis komoditas sangat rentan terhadap volatilitas harga global. Dengan demikian, begitu harga batu bara, minyak, atau nikel melemah, penerimaan negara otomatis ikut tergerus, menciptakan ketidakstabilan fiskal.

Perkembangan Belanja Negara

Di sisi lain, belanja negara justru bergerak ekspansif. Realisasi belanja hingga Agustus 2025 mencapai Rp 1.960,3 triliun atau 55,6 persen dari target, meningkat sebesar 1,5 persen dari tahun sebelumnya.

Belanja pemerintah pusat mencapai Rp 1.388,8 triliun, sementara transfer ke daerah dan dana desa mencapai Rp 571,5 triliun. Dari total belanja, porsi terbesar dialokasikan untuk program perlindungan sosial, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan subsidi energi. Bahkan, program-program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), revitalisasi sekolah, pembangunan bendungan dan irigasi, hingga subsidi pupuk dan BBM menyerap porsi besar anggaran.

Kombinasi antara penerimaan yang melemah dan belanja yang tetap ekspansif menghasilkan defisit anggaran sebesar Rp 321,6 triliun, atau setara 1,35 persen terhadap PDB. Angka ini secara nominal meningkat hampir dua kali lipat dibanding defisit pada periode sama tahun 2024 yang hanya Rp 153,4 triliun. Meski demikian, bila dilihat dari rasio terhadap PDB, defisit masih berada jauh di bawah batas 3 persen yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara.

“Keseimbangan primer yang biasanya negatif mencatatkan surplus tipis Rp 22 triliun, menunjukkan bahwa pemerintah masih relatif disiplin dalam menjaga rasio belanja terhadap pendapatan,” kata Listya Endang dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, pada Rabu, 24 September 2025.

0

Posting Komentar

Komentar untuk berinteraksi dengan komunitas Brokerja.com. Dapatkan informasi tips terbaru disini.