
Kematian Anak di Samarinda Mengundang Pertanyaan
Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun bernama R mengalami kematian yang misterius setelah pulang ke rumah sambil menangis dan mengeluh sakit kepala. Kejadian ini memicu dugaan adanya tindakan kekerasan dari teman sebayanya.
Ibu korban, Sartia (41), menceritakan bahwa R pulang pada pukul 21.00 Wita dalam keadaan menangis dan mengeluh sakit kepala. “Dia baru datang jam 9 malam, pulang sambil menangis, katanya kepalanya sakit. Saya pikir cuma sakit kepala biasa, jadi saya kasih minyak kayu putih,” ujar Sartia di Polresta Samarinda.
R menolak makanan dan minuman. Beberapa jam kemudian kondisinya semakin memburuk. “Saya panggil-panggil, enggak ada respons. Sekitar jam setengah satu malam, terdengar suara ngorok, tak lama kemudian dia meninggal,” kata Sartia dengan suara bergetar.
Misteri Luka dan Unggahan WhatsApp
Jenazah R dibawa ke rumah orang tua Sartia. Keesokan paginya, keluarga melihat busa di mulut, darah di hidung, serta lebam di bagian belakang tubuh dan pembengkakan di mata. “Pamannya bilang, ‘Anak ini habis jatuh atau gimana? Kok ada luka lebam di belakangnya?’ Padahal dia enggak pernah jatuh,” ucap Sartia.
Awalnya keluarga tidak curiga dan menganggap korban meninggal karena sakit. Namun tiga hari setelah pemakaman, muncul unggahan WhatsApp dari teman korban yang berbunyi, “Saya ikhlas kepergianmu, tapi tidak ikhlas dengan cara kematianmu.” Unggahan tersebut membuat keluarga menduga ada kejanggalan. Keluarga lalu menggelar pertemuan bersama pihak RT, keluarga pelaku, dan saksi.
“Tante saya bilang, katanya malam itu anak saya dipukuli. Waktu dikumpul, orang tua pelaku malah bilang ‘Anakmu di luar kayak apa’. Saya langsung marah. Anak saya dikenal baik sama warga,” tuturnya.
Diduga Dipukul dan Ditendang di Rumah Teman
Dari keterangan saksi, peristiwa diduga terjadi di rumah seorang teman berinisial A. Saat itu R disebut ditantang oleh S (12) yang kini diduga sebagai pelaku. “Kata saksi, anak saya ditantang, ‘Berani nggak lawan saya?’ Anak saya jawab, ‘Beranilah, sama-sama makan nasi.’ Setelah itu, anak saya dipukul di kepala dan ditendang tiga kali di perut,” ujar Sartia.
Korban pulang dengan kondisi kesakitan dan meninggal beberapa jam kemudian. Sartia baru melapor ke Polresta Samarinda pada 3 November 2025 setelah mendapat informasi dari saksi. “Waktu itu tidak ada visum, karena kami tidak curiga. Baru setelah ada yang cerita, saya lapor ke polisi,” jelasnya.
TRC PPA Bantu Proses Otopsi
Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kaltim, Rina Zainun, mengatakan pihaknya mendampingi keluarga secara psikologis dan hukum. “Kami akan memfasilitasi bantuan psikolog untuk ibunya yang masih sangat terpukul,” kata Rina.
TRC PPA juga membantu pengajuan otopsi, mengingat korban telah dimakamkan tanpa pemeriksaan medis. “Keluarga awalnya tidak curiga, jadi tidak dilakukan visum. Tapi karena ada dugaan kekerasan, kami bantu proses otopsi agar penyebab kematian lebih jelas,” ujarnya.
Rina menambahkan, keluarga korban menolak upaya perdamaian yang sempat ditawarkan keluarga pelaku. “Keluarga korban memilih melanjutkan kasus ini secara hukum,” tegasnya.



Posting Komentar