P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Tanggung Jawab Iuran Tapera Pekerja dalam Putusan MK

Featured Image

Putusan Mahkamah Konstitusi Mengakhiri Polemik Tapera

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi akhir dari berbagai kontroversi yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Dalam putusan nomor 96/PUU-XXIII/2025, MK menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi. Keputusan ini diumumkan dalam sidang yang digelar di ruang sidang utama Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada Senin (29/9/2025).

Pembacaan putusan dilakukan oleh sejumlah hakim, meskipun tidak semua hadir secara langsung. Salah satu hakim, Arsul Sani, tidak bisa menghadiri sidang karena kondisi kesehatannya yang menurun. Selain itu, para pemohon juga hadir secara virtual, sehingga perdebatan dan permintaan mereka tetap terdengar dalam ruang sidang.

Perubahan Makna "Tabungan" dalam Tapera

Salah satu hal yang menjadi fokus utama dalam putusan ini adalah penggunaan istilah "wajib" dalam Pasal 7 ayat 1 UU Tapera. Hakim Saldi Isra, yang menjadi pembuka pembacaan putusan, menjelaskan bahwa istilah "tabungan" dalam program ini memiliki makna yang berbeda dari definisi umumnya. Menurutnya, tabungan seharusnya bersifat sukarela dan melibatkan kerja sama antara penyimpan dana dan pemilik dana.

Namun, Tapera memiliki sifat memaksa karena peserta diwajibkan untuk menyisihkan sebagian pendapatannya secara berkala. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip kebebasan individu dalam menyimpan dana. Saldi menegaskan bahwa pungutan yang bersifat memaksa harus diatur dalam konstitusi, seperti dalam Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur pajak dan pungutan lainnya.

Dampak pada Pekerja dan Pemberi Kerja

Putusan MK juga menyebutkan bahwa penggunaan kata "wajib" dalam Tapera dapat memberatkan pekerja, terutama mereka yang baru saja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, pemberi kerja juga akan terkena dampak jika tidak mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta Tapera. Sanksi administratif yang diberikan kepada pemberi kerja bisa membuat usaha mereka terganggu, bahkan sampai dibekukan atau izinnya dicabut.

Saldi menilai bahwa kebijakan ini berpotensi mendegradasi kehidupan sosial-ekonomi, yang justru bertentangan dengan amanat Pasal 34 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Hal ini akan berdampak pada kehidupan ekonomi baik bagi pekerja maupun pemberi kerja.

Kepesertaan Tapera yang Sudah Berjalan

Meski MK menyatakan UU Tapera bertentangan dengan konstitusi, lembaga ini memberikan tenggat waktu dua tahun kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan penataan ulang. Alasan utamanya adalah karena Tapera merupakan kelanjutan dari program Bapetarum yang sudah berjalan sejak lama, khususnya untuk pegawai negeri sipil (PNS).

Hakim Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa pasal jantung dari UU Tapera adalah Pasal 7 ayat (1), sehingga keseluruhan undang-undang ini terkena dampak. Namun, MK tetap mempertimbangkan kepesertaan yang sudah ada, dan memutuskan bahwa Tapera masih berlaku hingga diatur ulang.

Putusan MK yang Jelas dan Terstruktur

Setelah membacakan pertimbangan hukum, Ketua Mahkamah Suhartoyo melanjutkan dengan empat amar putusan yang menegaskan bahwa UU Tapera tidak lagi berlaku sepanjang belum ditata ulang. Putusan ini mencakup:

  1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.
  2. Menyatakan UU Tapera bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
  3. Menegaskan bahwa kepesertaan Tapera yang sudah berjalan tetap berlaku hingga diatur ulang dalam waktu dua tahun.
  4. Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Putusan ini menjadi langkah penting dalam memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak bertentangan dengan prinsip dasar konstitusi dan hak-hak warga negara.

0

Posting Komentar

Komentar untuk berinteraksi dengan komunitas Brokerja.com. Dapatkan informasi tips terbaru disini.