
Aceh, Wilayah yang Menghadapi Krisis Deforestasi
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang dikenal sebagai paru-paru dunia. Hal ini disebabkan oleh keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), yang menjadi bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). TNGL adalah hutan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk spesies langka seperti harimau Sumatera, gajah sumatera, orang utan sumatera, dan badak sumatera. Namun, saat ini, Aceh menghadapi tantangan besar dalam bentuk deforestasi yang mengancam keberlanjutan ekosistem tersebut.
Deforestasi merujuk pada penurunan luas hutan akibat berbagai aktivitas manusia, seperti konversi lahan untuk infrastruktur, permukiman, pertanian, pertambangan, dan perkebunan. Aceh menjadi provinsi dengan tingkat deforestasi tertinggi di Indonesia. Fenomena ini bukan hanya masalah lingkungan biasa, melainkan bom waktu yang dapat mengancam kehidupan masyarakat setempat.
Menurut data dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), pada tahun 2023, Aceh kehilangan tutupan hutan sebesar 6.780 hektare. Angka ini meningkat menjadi 10.610 hektare pada tahun 2024, atau naik sekitar 19 persen. Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menjadi area paling terdampak. Dari seluruh kabupaten, Aceh Timur menjadi yang paling banyak kehilangan hutan, yaitu 30.359 hektare, diikuti oleh Gayo Lues dengan 13.516 hektare, dan Aceh Utara sebesar 12.810 hektare.
Berdasarkan analisis Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh (BAPPEDA), faktor utama penyebab deforestasi di Aceh adalah aktivitas manusia yang dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi. Beberapa aktivitas tersebut antara lain pengalihan hutan untuk pengembangan komoditas kehutanan seperti perkebunan komersial, konversi lahan menjadi pertanian campuran dan lahan kering, pembangunan infrastruktur di kawasan hutan, lemahnya pengelolaan sumber daya hutan, banyaknya aktivitas pertambangan, perluasan pemukiman, serta kurangnya upaya penegakan hukum terhadap perambahan lahan dan pembalakan liar.
Dampak deforestasi dirasakan langsung oleh masyarakat Aceh. Perubahan pola hujan yang semakin ekstrem, berkurangnya kesuburan tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, dan rusaknya habitat hewan menjadi beberapa dampak yang terlihat. Selain itu, deforestasi juga memicu kekeringan, peningkatan suhu udara, dan pemanasan global lokal. Pada tahun 2025, Aceh mencatat suhu tertinggi hingga 37,2 derajat Celcius. Bencana banjir juga sering terjadi, seperti yang terjadi di beberapa kecamatan di Aceh Jaya pada Oktober 2025. Data Pemerintah Aceh tahun 2024 menunjukkan bahwa provinsi ini mengalami 273 kali banjir dalam setahun.
Selain banjir, deforestasi juga menyebabkan tanah longsor, seperti yang terjadi di Kecamatan Birem Bayeun pada 10 September 2025. Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Aceh melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) telah menerapkan sembilan langkah strategis. Langkah-langkah tersebut mencakup peningkatan efektivitas kesatuan pengelolaan hutan, peningkatan perlindungan dan pengamanan hutan, penyuluhan peningkatan kesadaran masyarakat, akses legal masyarakat melalui perhutanan sosial dan hutan adat, membuat rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, peningkatan produktivitas lahan budidaya, koordinasi lintas sektor, serta pendampingan operasional perhutanan sosial.
Namun, meskipun sembilan langkah ini telah diterapkan, belum ada perubahan nyata yang terlihat. Pemantauan dari Sipongi mencatat bahwa kebakaran hutan dan lahan di Aceh pada tahun 2024 meluas hingga sekitar 7.200 hektare. Data ini menunjukkan bahwa upaya penanganan deforestasi belum berjalan maksimal.
Oleh karena itu, diperlukan kerja sama yang lebih baik antara lembaga terkait, penegakan hukum yang lebih kuat, serta partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga hutan. Deforestasi di Aceh bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga krisis kesejahteraan. Ketika hutan hilang, yang lenyap bukan hanya pohon, tetapi juga sumber kehidupan, budaya, dan masa depan masyarakat yang bergantung padanya.



Posting Komentar