P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Khawatir Ancam Alam dan Budaya: Warga Jenawi Menolak Proyek Geotermal Gunung Lawu

Featured Image

Penolakan Terhadap Proyek Geotermal Gunung Lawu Muncul dari Masyarakat Lokal

Di lereng timur Jawa Tengah, penolakan terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau geotermal Gunung Lawu semakin menguat. Warga Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar menegaskan sikap mereka untuk menolak proyek tersebut. Mereka khawatir proyek ini akan merusak lingkungan dan mengancam kelestarian budaya yang telah dijaga selama berabad-abad.

Penolakan itu muncul dalam kegiatan reses Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah Asrar SE di Desa Sidomukti, Kecamatan Jenawi. Dalam forum tersebut, mayoritas aspirasi warga menyuarakan satu suara bulat: hentikan proyek geotermal yang digagas oleh pihak tertentu.

“Kami khawatir aktivitas pengeboran dan penyedotan air tanah dalam skala besar akan merusak sumber air yang menjadi penopang kehidupan kami di lereng Lawu,” ujar Suwardi, warga setempat.

Energi hijau sering dipandang sebagai solusi masa depan, tetapi bagi masyarakat Jenawi, proyek ini justru berpotensi merusak harmoni alam yang telah mereka jaga sejak lama. Aktivitas eksplorasi, termasuk teknologi fracking, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya rekahan tanah, gempa minor, bahkan penurunan permukaan tanah di kawasan pemukiman.

“Kalau sumber air rusak, sawah kering, hutan gundul, dan situs leluhur ikut terganggu, siapa yang menanggung akibatnya?” tanya Mardi, warga Desa Lempong.

Gunung Lawu tidak hanya dianggap sebagai sumber energi, tetapi juga pusat spiritual, sejarah, dan kebudayaan Jawa. Di lerengnya berdiri dua candi kuno yang menjadi simbol peradaban Majapahit akhir, yaitu Candi Sukuh dan Candi Cetho. Kedua candi ini dipercaya memiliki orientasi spiritual ke puncak Lawu.

Gunung Lawu: Gunung Suci dan Warisan Leluhur

Sejak lama, Gunung Lawu dianggap sebagai Mahkota Spiritual Tanah Jawa. Bagi masyarakat sekitar, gunung ini bukan hanya bentang alam, melainkan ruang sakral tempat doa, ritual, dan tradisi berlangsung selama berabad-abad. Ritual seperti Jalanan Sura, larung sesaji, dan nyadran di puncak Lawu adalah bentuk penghormatan terhadap alam dan leluhur.

“Lawu itu bukan sekadar tumpukan batu. Ia punya jiwa, sejarah, dan makna bagi kami,” tambah Mardi dengan tegas.

Legislator Tegas: “Saya di Barisan Rakyat”

Menanggapi aspirasi tersebut, Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah Asrar SE menyatakan secara tegas menolak proyek geotermal Lawu. Ia menilai bahwa pembangunan proyek semacam itu harus mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan spiritual masyarakat lokal.

“Gunung Lawu bukan hanya soal sumber daya panas bumi, tapi juga warisan peradaban. Ini bukan sekadar isu lingkungan, tapi juga soal kelestarian identitas dan budaya tanah Jawa,” tegas Asrar.

Asrar berkomitmen akan membawa suara penolakan masyarakat Jenawi ke tingkat provinsi dan pusat. Ia juga akan mendesak pihak terkait untuk meninjau ulang rencana lelang wilayah kerja geotermal di kawasan Gunung Lawu.

“Kami akan berdiri di barisan masyarakat. Jangan sampai atas nama energi hijau, kita justru menghancurkan rumah kita sendiri,” tutupnya.

Antara Kemajuan dan Kelestarian

Penolakan warga Jenawi membuka perdebatan menarik tentang masa depan energi di Indonesia. Di satu sisi, pemerintah berupaya mempercepat transisi energi hijau melalui proyek panas bumi. Namun di sisi lain, proyek ini justru berpotensi menimbulkan konflik sosial dan ekologis di daerah yang memiliki nilai budaya tinggi.

Bagi warga Jenawi, bukan berarti mereka menolak kemajuan, tetapi mereka menuntut transparansi, kajian lingkungan yang jujur, dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Karena pada akhirnya, energi yang benar-benar hijau adalah energi yang tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga menghormati manusia dan budayanya.

Posting Komentar

Posting Komentar

Komentar untuk berinteraksi dengan komunitas Brokerja.com. Dapatkan informasi tips terbaru disini.