
Sejarah dan Perkembangan PLTP Mataloko
PLTP Mataloko telah menjadi sumber kebanggaan bagi masyarakat Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur sejak tahun 2010. Dengan kapasitas 2,5 megawatt (MW), pembangkit ini mampu menyuplai hampir 60 persen kebutuhan listrik wilayah Bajawa dan sekitarnya. Sebelum hadirnya PLTP Mataloko, banyak rumah yang gelap dan warung kopi hanya bisa buka hingga jam tertentu. Kehadiran listrik dari uap bumi menjadi simbol kemajuan yang diharapkan dapat berkelanjutan.
Namun, harapan tersebut tidak bertahan lama. Sumber energi PLTP Mataloko berasal dari enam sumur geotermal yang dibor antara tahun 1990 hingga 2000 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sayangnya, kedalaman sumur yang hanya sekitar 600 meter tidak cukup untuk menahan tekanan uap bumi secara stabil. Bobby Robson Sitorus, Manajer Perizinan dan Komunikasi PLN UIP Nusa Tenggara, mengungkapkan bahwa dari kapasitas 2,5 MW, akhirnya tinggal 1,5 MW yang bisa beroperasi. Tekanan yang menurun membuat produksi listrik terhenti.
Pada 2015, pembangkit tersebut resmi berhenti total. Sejak saat itu, listrik Ngada kembali bergantung pada sistem interkoneksi Flores, yang disuplai dari PLTMG Rangko (20 MW) di Labuan Bajo dan PLTMG Maumere (40 MW). Namun, PLN tidak berhenti berusaha menghidupkan kembali semangat masyarakat dengan proyek baru.
Proyek Baru PLTP Mataloko
Sepuluh tahun setelah penghentian total, PLN kembali menyalakan harapan. Proyek PLTP Mataloko 2×10 MW kini tengah dibangun di lokasi sekitar 15 kilometer dari Kota Bajawa, dan ditargetkan beroperasi pada Desember 2031. Empat titik pengeboran — Wellpad A, B, C, dan D — disiapkan dengan kedalaman mencapai 2.000 meter. Taufik Iskandar, Kepala Teknik Panas Bumi (KTPB) Mataloko, menjelaskan bahwa proyek sudah mencapai tahap konstruksi sekitar 85 persen. Setelah ini, masuk tahap pengeboran sumur produksi, yang diharapkan tuntas sebelum 2028.
Tahun 2016, pemerintah menugaskan kembali proyek ini kepada PLN untuk dikembangkan menjadi pembangkit yang lebih besar. Hingga April 2025, progres fisik proyek baru mencapai 79,57 persen. Selain itu, PLN juga melaksanakan berbagai program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) seperti layanan kesehatan gratis, pelatihan UMKM, dan pemberdayaan warga sekitar lokasi pengeboran.
Dukungan dan Penolakan dari Masyarakat
Meski mayoritas warga mendukung proyek ini, tidak semua pihak sependapat. Sejumlah kelompok masyarakat menolak eksplorasi panas bumi karena kekhawatiran terhadap dampak gas hidrogen sulfida (HS) yang berpotensi menyebabkan gangguan pernapasan dan mencemari lingkungan. Brosur dan selebaran anti-geotermal sempat beredar, menuduh proyek ini berbahaya bagi manusia dan alam.
Agradi Ariatama, Officer Komunikasi dan TJSL PLN UIP Nusra, menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan lebih dari 40 kali sosialisasi menggunakan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). “Kami terbuka. Semua kajian lingkungan sudah dilakukan dan disampaikan ke masyarakat. Kami ingin geotermal ini dipahami sebagai solusi, bukan ancaman,” ujarnya. Dengan demikian, PLN berkomitmen untuk memastikan bahwa proyek ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga menjaga kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitar.



Posting Komentar