
Kebijakan Iklim Indonesia Menghadapi Tantangan Berat
Menjelang pelaksanaan Conference of the Parties (COP) ke-30 di Brazil pada 2025, komitmen Indonesia terhadap target penurunan emisi kembali menjadi sorotan. Dari sembilan tahun sejak pengesahan Nationally Determined Contribution (NDC), bencana ekologis seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Ajang COP 30 Brazil menjadi kesempatan penting bagi negara-negara dunia untuk memperkuat aksi iklim global, termasuk dalam pengelolaan hutan, laut, dan biodiversitas. Namun, bagi Indonesia, realisasi janji menuju Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 masih jauh dari harapan. Sektor yang seharusnya menyerap emisi karbon justru sering menjadi sumber utama pelepasannya.
Karhutla Masih Meluas di Wilayah FOLU
Data dari Madani Berkelanjutan dan Pantau Gambut menunjukkan bahwa Kalimantan Barat menjadi provinsi dengan Area Indikatif Terbakar (AIT) terluas sepanjang Januari–September 2025, mencapai 123.076 hektare. Dari luasan tersebut, sekitar 78.267 hektare berada di area rencana operasional subnasional FOLU Net Sink.
Pantau Gambut juga melaporkan bahwa luas area bekas terbakar di lahan gambut pada Juli–Agustus 2025 mencapai 26.761 hektare, dengan Riau dan Kalimantan Barat menjadi dua provinsi paling terdampak. Ironisnya, 56 persen dari total karhutla tersebut terjadi di area berizin Hak Guna Usaha (HGU) sawit dan PBPH.
Fragmentasi Lembaga Hambat Aksi Iklim
Juru Kampanye Pantau Gambut, Putra Saptian, mengatakan bahwa akar masalah terletak pada fragmentasi kelembagaan dan lemahnya koordinasi antarinstansi. “Ekosistem gambut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan secara administratif maupun sektoral,” ujarnya.
Namun, pemisahan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan justru menambah kerumitan birokrasi. Masalah ini diperparah dengan tidak diperpanjangnya masa kerja Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Pasca terbitnya Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020, BRGM kehilangan kewenangan untuk melakukan monitoring di area konsesi—wilayah yang justru memiliki risiko tinggi terhadap kebakaran.
Pendekatan Ad-Hoc dan Lemahnya Desain Kelembagaan
Deputi Direktur Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto, menyebut pembubaran BRGM mencerminkan pendekatan ad-hoc pemerintah dalam tata kelola lingkungan. “Kita membentuk lembaga saat krisis, lalu membubarkannya ketika tekanan mereda. Pola ini menunjukkan absennya desain kelembagaan jangka panjang,” katanya.
Sementara itu, peneliti Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin, menekankan pentingnya sinergi lintas sektor untuk mencapai target penurunan emisi karbon sebesar 31,89 persen tanpa syarat dan 43,20 persen dengan syarat. “Jika deforestasi dan pembukaan lahan besar-besaran masih terjadi, maka target iklim akan semakin sulit tercapai. COP 30 di Brazil bisa berakhir sekadar simbol tanpa aksi nyata,” ujarnya.
Dengan koordinasi yang masih kusut dan kelembagaan yang terfragmentasi, upaya Indonesia menuju FOLU Net Sink 2030 tampak semakin berat. Harapan agar COP 30 menjadi titik balik aksi iklim nasional pun bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu menyatukan arah dan strategi lintas sektor dalam menghadapi krisis iklim yang kian nyata.



Posting Komentar