P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Magang Berbayar UMR: Solusi atau Ilusi Pemberdayaan Lulusan Baru?

Featured Image

Program Magang Nasional: Solusi atau Tantangan?

Pemerintah baru-baru ini meluncurkan program magang nasional yang ditujukan bagi lulusan baru. Program ini menawarkan kompensasi setara dengan Upah Minimum Regional (UMR) selama masa pelatihan kerja. Tujuan dari program ini adalah untuk mengurangi angka pengangguran muda, khususnya di kalangan lulusan perguruan tinggi.

Secara umum, gagasan ini terdengar progresif dan berpihak kepada generasi muda. Namun, di balik kegembiraan tersebut, muncul pertanyaan penting: Apakah program ini benar-benar memberikan solusi jangka panjang, atau hanya menjadi respons sementara terhadap masalah lapangan kerja yang sedang berkembang?

Euforia yang Perlu Dikaji Ulang

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 4,82%, dengan proporsi pengangguran lulusan universitas sebesar 5,79%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA yang berada di kisaran 5,29%. Artinya, semakin tinggi pendidikan, semakin besar tantangan dalam memperoleh pekerjaan tetap.

Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan bahwa rata-rata waktu tunggu kerja bagi lulusan baru berada di rentang 6—12 bulan setelah lulus. Dalam konteks ini, program magang bergaji UMR tampak sebagai "jembatan sementara" yang berusaha mengurangi tekanan angka pengangguran intelektual.

Namun, keberhasilan program tidak cukup diukur dari jumlah peserta yang diserap, tetapi juga dari mutu pelatihan, dampak jangka panjang, dan keberlanjutan karier peserta.

Magang Bukan Sekadar Upah

Program magang seharusnya bukan hanya menjadi sarana distribusi upah, melainkan juga media pembelajaran industri yang terstruktur. Organisasi Internasional Tenaga Kerja (ILO) menegaskan bahwa magang idealnya memiliki tiga unsur utama: pelatihan terarah, mentorship profesional, dan sertifikasi kompetensi nasional.

Sayangnya, desain magang nasional di Indonesia masih lebih menonjolkan aspek insentif dibanding peningkatan kompetensi. Banyak perusahaan penerima peserta magang tidak memiliki sistem pembelajaran kerja yang jelas, sehingga pengalaman magang justru menjadi rutinitas administratif, tanpa nilai tambah keterampilan.

Di sisi lain, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat bahwa 60% lulusan yang mengikuti magang di perusahaan besar tidak otomatis diserap menjadi karyawan tetap. Angka ini menunjukkan kesenjangan antara pelatihan dan peluang kerja nyata.

Soal Keberlanjutan dan Pemerataan

Kritik utama terhadap program magang bergaji UMR bukan pada niatnya, melainkan pada keberlanjutan dan efektivitasnya. Pertama, program ini cenderung berorientasi jangka pendek. Jika kontrak magang hanya berlangsung 6 bulan tanpa mekanisme placement atau sertifikasi, manfaatnya akan berhenti di sisi administratif: pengangguran turun sementara, tetapi tidak diikuti peningkatan kompetensi kerja.

Kedua, terjadi potensi ketimpangan wilayah. Karena nilai UMR berbeda tiap daerah, peserta magang di kota besar seperti Surabaya atau Jakarta akan menerima upah yang jauh lebih tinggi dibanding di kota kecil. Hal ini menimbulkan kesenjangan akses antara daerah industri dan non-industri.

Ketiga, perlu ada transparansi dalam seleksi mitra industri. Jangan sampai program ini hanya menguntungkan perusahaan besar atau BUMN, sementara UKM dan sektor inovatif diabaikan.

Menuju Solusi yang Lebih Relevan

Program magang bergaji UMR akan jauh lebih bermakna bila dilengkapi dengan tiga komponen perbaikan utama. Pertama, integrasi sertifikasi kompetensi (BNSP). Setiap peserta yang lulus magang harus memperoleh sertifikat kompetensi nasional agar keterampilannya diakui lintas industri.

Kedua, kemitraan dengan perguruan tinggi dan Dinas Ketenagakerjaan Daerah. Universitas dapat membantu dalam monitoring pascamagang selama 1 tahun, memastikan apakah peserta benar-benar berkembang di dunia kerja.

Ketiga, transparansi dan digitalisasi data peserta. Dengan dashboard publik yang memuat informasi perusahaan mitra, durasi magang, dan tingkat serapan kerja, publik dapat ikut mengawasi akuntabilitas program.

Antara Harapan dan Tantangan

Magang bergaji UMR tentu kabar baik di tengah sulitnya mencari pekerjaan tetap. Namun, tanpa sistem pembelajaran industri yang kuat dan arah karier yang jelas, program ini berisiko menjadi proyek populis sesaat yang sekadar memperindah angka statistik tanpa memperkuat kualitas SDM muda Indonesia.

Seperti ditegaskan oleh ILO, pembangunan tenaga kerja muda harus berorientasi pada employability jangka panjang, bukan sekadar temporary engagement. Karena sejatinya, pemberdayaan bukan hanya tentang memberi upah, melainkan pembangunan daya tahan, kompetensi, dan kemandirian.

Posting Komentar

Posting Komentar

Komentar untuk berinteraksi dengan komunitas Brokerja.com. Dapatkan informasi tips terbaru disini.