P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Usman dan Gerakan Sunyi Menghidupkan Sawah Cirebon

Featured Image

Kehidupan Seorang Petani di Blok Sumberan

Di pagi hari di Blok Sumberan, cahaya matahari perlahan menyelinap dari arah timur. Diantara pepohonan randu dan kelapa, sinar itu memantul di atas genangan sawah yang masih berkabut. Ayam berkokok di kejauhan, sementara embun di rumput ilalang mulai menguap seiring langkah seorang lelaki paruh baya yang menapaki jalan setapak menuju sawahnya.

Nama lengkapnya adalah Usman Effendi, 59 tahun, seorang petani di Desa Cirebon Girang, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon. Tubuhnya tegap dengan kulit yang legam karena terbakar matahari bertahun-tahun. Ia berjalan dengan langkah mantap, memakai sandal karet yang sudah aus di bagian tumit, membawa cangkul di bahu kanan dan sebuah ember berisi pupuk cair di tangan kiri.

Setiap langkahnya meninggalkan jejak lumpur di tanah yang lembab. Di sisi kanan, parit kecil berisi air jernih mengalir tenang, sementara di sisi kiri, hamparan padi muda menunduk lembut diterpa angin. Suara gemerisik dedaunan dan percikan air menciptakan irama khas pedesaan, suara yang bagi Usman sudah menjadi nadi hidupnya.

Ia berhenti sejenak di pinggir pematang. Menghela napas panjang, memandangi petak sawah yang kini menghijau segar. Di balik ketenangan itu, ada perjalanan panjang yang tak selalu mudah. Bagi Usman, sawah bukan sekadar tempat mencari nafkah, melainkan cermin dari kehidupan, tentang kesabaran, kejujuran, dan keberanian untuk berubah.

Usman lahir dan besar di lahan yang sama. Dari kecil ia sudah diajari cara menanam padi, menyiangi gulma, hingga menghitung waktu tanam berdasarkan arah angin dan posisi bulan. Semua serba alami, semua mengikuti ritme alam. Tapi sejak revolusi hijau masuk ke desanya pada awal 1990-an, segalanya berubah.

“Waktu itu semua petani diberi tahu, kalau mau panen cepat dan banyak, pakai pupuk kimia. Awalnya memang bagus. Panen pertama luar biasa. Tapi setelah beberapa tahun, tanah jadi keras, airnya susah nyerap, cacing hilang," kata Usman di sawah miliknya, Kamis (23/10/2025).

Usman menyebut masa itu sebagai masa “kehilangan sunyi”. Sawah-sawah yang dulu menjadi tempat bermain anak-anak kini jadi lahan yang menuntut ongkos besar. Setiap musim tanam, ia harus membeli pupuk Urea, NPK, dan pestisida yang semakin mahal. Harga gabah tidak pernah naik seimbang. Pendapatannya menurun, tapi pengeluaran membengkak.

“Dulu satu hektare bisa 6 ton. Sekarang paling 3,5 ton. Padahal pupuk yang dipakai makin banyak,” keluh Usman.

Krisis itu bukan hanya menimpa Usman. Hampir semua petani di Blok Sumberan mengeluh hal yang sama. Air irigasi mulai tercemar, serangga alami mati, dan hama baru bermunculan. Banyak yang berutang ke tengkulak untuk membeli pupuk, lalu membayar dengan hasil panen menurun.

Keputusan di Tengah Sunyi

Suatu hari, sekira 2019, seorang penyuluh pertanian datang ke desanya. Ia membawa kabar tentang program pertanian organik yang mulai dikembangkan pemerintah daerah. Namun, penyuluh itu berbeda. Ia tidak bicara tentang teknologi canggih, melainkan tentang mengembalikan tanah pada fitrahnya. Tentang mikroorganisme, pupuk kandang, dan keseimbangan alam.

“Katanya, tanah itu hidup. Kalau kita kasih makan racun terus, ya lama-lama mati,” ujar Usman.

Usman mulai berpikir. Malam itu ia berbicara dengan istrinya, yang menatapnya dengan cemas. Maka dimulailah langkah baru. Ia sisihkan setengah hektare sawahnya untuk percobaan. Ia belajar membuat pupuk organik dari kotoran sapi dan limbah dapur. Ia kumpulkan daun kering, jerami, dan air cucian beras untuk fermentasi.

Setiap sore, ia aduk adonan pupuk dengan tangan, mencium baunya, memastikan prosesnya berjalan. Pagi-pagi, ia menyiangi gulma dengan sabit kecil. Ia menanam bunga refugia di tepi sawah, agar serangga alami datang membantu. Ia menolak menyemprot pestisida kimia, menggantinya dengan ramuan dari serai dan bawang putih. Semua dilakukan perlahan, nyaris tanpa bantuan mesin.

Tetangga-tetangganya sempat mengejek. “Mau jadi profesor, Man?” kata salah satu. Ada juga yang bilang, “Kalau hasilnya jelek, jangan menyesal.” Tapi Usman tidak gentar. “Saya tidak mau kalah sebelum mencoba,” katanya.

Musim panen pertama tiba dengan harap dan cemas. Padi milik Usman tampak lebih hijau dari biasanya. Batangnya kokoh, daunnya tidak menguning, dan serangan hama jauh lebih sedikit. Saat panen, ia terkejut: hasilnya mencapai 5,1 ton per hektare, naik hampir dua ton dari sebelumnya.

Perubahan yang Berdampak

Panen kedua lebih menggembirakan. Setelah sistemnya lebih stabil, hasilnya menembus 6,5 ton per hektare. Bahkan bulir padi terlihat lebih padat dan berat. Usman merasa tanahnya mulai bernapas kembali. Di sela-sela lumpur, ia melihat cacing tanah kembali muncul pertanda kehidupan bawah tanah mulai pulih.

Secara ekonomi, dampaknya sangat terasa. Ia menghitung pengeluaran per musim. Tanpa pupuk kimia dan pestisida sintetis, biaya produksinya turun 30%. Jika sebelumnya ia menghabiskan Rp12 juta per hektare, kini hanya sekitar Rp8 juta. Sisa uang itu bisa ia gunakan untuk memperbaiki irigasi dan menambah ternak.

“Sekarang saya tidak tergantung toko pupuk,” ujarnya sambil tersenyum. Saya bikin sendiri. Gratis, cuma butuh waktu,” kata Usman.

Yang lebih mengejutkan, harga gabahnya justru naik. Tengkulak yang dulu menawar rendah kini berebut membeli. Beras hasil pertanian organik dianggap lebih sehat dan wangi alami. Harga gabah kering giling bisa mencapai Rp7.500 per kilogram, jauh di atas harga biasa yang hanya sekitar Rp6.000.

Para pembeli bahkan mulai datang sebelum panen. Mereka menandai petak sawah Usman, memberi uang muka, dan menunggu panen tiba. “Dulu saya yang datang ke pasar, sekarang pasar yang datang ke saya,” katanya bangga.

Dari Satu Sawah ke Gerakan Kecil

Kabar keberhasilan itu menyebar cepat di Blok Sumberan. Para petani yang semula mencibir mulai datang berkunjung. Mereka membawa buku catatan, ada yang merekam pakai ponsel. Usman menerima mereka dengan tangan terbuka.

Lahan-lahan lain mulai berubah. Beberapa petani mencoba metode serupa: membuat kompos sendiri, menanam refugia, dan menolak pestisida kimia. Di malam hari, mereka berkumpul di pos ronda, berdiskusi tentang fermentasi dan pembuatan pupuk cair. Suasana yang dulu sunyi kini hidup oleh percakapan tentang tanah, bukan tentang utang.

Dalam waktu dua tahun, sedikitnya 15 petani di blok itu mulai menerapkan pola pertanian organik. Mereka membentuk kelompok kecil bernama dengan Usman sebagai ketua tidak resmi. Tak ada seragam, tak ada spanduk, hanya tekad bersama untuk memulihkan tanah.

Mereka mengusulkan ke pemerintah desa agar limbah organik rumah tangga dikumpulkan untuk bahan pupuk. Mereka juga mengajukan pelatihan tambahan kepada Dinas Pertanian. “Kami tidak mau berhenti di teori. Kami ingin ini jadi sistem, bukan sekadar eksperimen,” ujarnya.

Kini, blok yang dulu dianggap lahan tua mulai dikenal sebagai kawasan hijau percontohan. Irigasinya bersih, serangga kembali hidup, dan produktivitas naik. Para petani lebih mandiri karena tidak tergantung pada distributor pupuk.

Bagi Usman, itu bukan semata keuntungan ekonomi. Ia melihat sesuatu yang lebih besar: kembalinya martabat petani. “Dulu kami hanya jadi pekerja tanah. Sekarang kami jadi penjaga tanah,” tutur Usman.

Apa yang dilakukan Usman sesungguhnya merupakan bentuk ekonomi hijau di level paling bawah—ekonomi yang berpusat pada keberlanjutan, bukan hanya keuntungan. Konsep yang sering terdengar di seminar dan laporan pemerintah itu kini menjelma dalam bentuk nyata di sawah kecil Blok Sumberan.

Efek domino pun muncul. Beberapa warga yang tak punya sawah mulai beternak sapi dan kambing untuk memasok bahan pupuk. Limbah yang dulu dibuang kini bernilai ekonomi. Sistem yang semula sederhana berkembang menjadi ekosistem kecil saling menopang.

Namun, Usman sadar, pertanian organik bukan tanpa tantangan. Prosesnya lebih lambat, butuh disiplin tinggi, dan belum sepenuhnya mendapat dukungan kebijakan. Subsidi pupuk masih fokus pada produk kimia.

“Kalau organik dapat dukungan seperti itu, petani pasti lebih banyak yang beralih,” ujarnya.

Ia juga berharap ada jalur distribusi khusus untuk produk ramah lingkungan agar harga lebih stabil. “Selama ini harga gabah organik masih tergantung tengkulak. Harusnya ada koperasi khusus,” tambahnya.

Kini, lima tahun setelah langkah pertamanya, perubahan di Blok Sumberan mulai menarik perhatian banyak pihak. Kini, Usman sedang menyiapkan rencana baru: mendirikan rumah kompos bersama warga. Ia ingin semua limbah organik di RT-nya diolah, bukan dibakar.

Di usianya yang lebih dari setengah abad, semangat itu tak pernah padam. Ia masih turun ke sawah setiap hari, masih mencatat hasil panen di buku kecil, dan masih tersenyum setiap kali melihat cacing tanah muncul setelah hujan.

Posting Komentar

Posting Komentar

Komentar untuk berinteraksi dengan komunitas Brokerja.com. Dapatkan informasi tips terbaru disini.