P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Perbedaan Definisi Deforestasi, Kemenhut: Ekspor Kayu Aman

Featured Image

Kementerian Kehutanan Jamin Akses Ekspor Kayu ke Pasar Uni Eropa

Kementerian Kehutanan Indonesia menegaskan bahwa produk kayu hasil hutan dari negara ini tetap dapat memasuki pasar Uni Eropa meskipun terdapat perbedaan dalam definisi kawasan deforestasi. Hal ini berlaku khusus untuk kayu yang berasal dari kawasan hutan produksi sebelum tanggal 31 Desember 2020, yang menjadi batas waktu dalam regulasi EU Deforestation Regulation (EUDR).

Regulasi EUDR mewajibkan pelaku usaha yang mengekspor komoditas seperti kayu, kedelai, daging sapi, kopi, kakao, dan minyak sawit ke Uni Eropa untuk membuktikan bahwa rantai pasok mereka tidak terkait dengan praktik deforestasi atau perusakan hutan. Batas waktu 31 Desember 2020 digunakan untuk memastikan bahwa komoditas yang masuk ke pasar Eropa tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi setelah tanggal tersebut.

Regulasi ini merupakan aturan pertama di dunia yang secara langsung menargetkan deforestasi akibat konsumsi, dengan tujuan menghentikan sekitar 10% deforestasi global yang dipicu oleh impor dari Uni Eropa. Namun, EUDR juga menjadi salah satu kebijakan paling kontroversial dalam agenda hijau Uni Eropa karena dinilai memberatkan pelaku usaha dan petani kecil, termasuk di negara-negara mitra dagang seperti Indonesia, Brasil, dan Malaysia.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Kehutanan, Krisdianto menjelaskan bahwa tanggal 31 Desember 2020 menjadi acuan untuk menentukan asal bahan baku. Jika sumber hasil hutan berasal dari area yang sudah terbuka atau digunakan sebelum tanggal tersebut, maka produk tersebut dianggap "halal" dan masih dapat masuk ke pasar Uni Eropa.

Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kemenhut, Agus Budi Santosa menyatakan bahwa kayu merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia dengan tingkat ketelusuran tinggi, didukung oleh Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini memungkinkan asal-usul bahan baku kayu dapat dilacak dengan jelas.

Dalam konteks pengakuan bersama atau mutual recognition, Uni Eropa dan Indonesia telah memiliki skema Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT). Skema lisensi ini mengakui keberlanjutan dan legalitas kayu asal Indonesia.

Meski demikian, Agus mengakui adanya perbedaan definisi dan sudut pandang antara Indonesia dan Uni Eropa. Contohnya, Uni Eropa mendefinisikan deforestasi sebagai hilangnya tutupan pohon, baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan. Sementara itu, di Indonesia, alih fungsi hutan yang direncanakan dan sah secara hukum, seperti hutan tanaman industri (HTI), tidak dikategorikan sebagai deforestasi, melainkan bagian dari pengelolaan hutan produksi.

Sistem pendataan dan pemantauan tutupan hutan Indonesia menjadi salah satu yang paling transparan di dunia, dengan tingkat keterlacakan tinggi. Dari tujuh komoditas yang disasar EUDR, kayu Indonesia memiliki pelacak-balak yang paling lengkap dan bagus. Indonesia mencapai nilai 4, yang masuk dalam kategori paling tinggi.

Pemanfaatan hasil hutan kayu di Indonesia sepenuhnya dilaksanakan berdasarkan kerangka hukum yang ketat, yaitu melalui skema Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), Perhutanan Sosial, dan Hak Pengelolaan di kawasan hutan, serta izin pemanfaatan kayu untuk kegiatan non-kehutanan (PKKNK) di Areal Penggunaan Lain (APL) yang merupakan wilayah berhutan yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan.

Skema perizinan tersebut mengatur agar setiap kegiatan penyiapan lahan, penanaman hutan, atau pembangunan infrastruktur dilakukan berdasarkan izin resmi disertai dengan kewajiban untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan sosial masyarakat di sekitarnya.

Selain itu, kebijakan kehutanan di Indonesia memaknai deforestasi sebagai perubahan permanen dari area berhutan menjadi tidak berhutan. Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa total kawasan hutan Indonesia mencapai 125,7 juta hektare yang terdiri atas 29,6 juta hektare hutan lindung, 29,2 juta hutan produksi, 26,8 juta hektare hutan produksi terbatas, dan 12,8 juta hektare hutan produksi konservasi. Selain itu, terdapat kawasan suaka margasatwa atau kawasan konservasi alam seluas 22,1 juta hektare di darat dan 5,3 juta hektare kawasan konservasi alam di laut.

Posting Komentar

Posting Komentar

Komentar untuk berinteraksi dengan komunitas Brokerja.com. Dapatkan informasi tips terbaru disini.