
Pengalaman Profesional yang Menyentuh Kekurangan Transparansi
Seorang rekan saya, seorang profesional yang lulus dari luar negeri, mengeluhkan pengalamannya saat diundang untuk mengisi acara oleh suatu lembaga tingkat provinsi. Ia tidak diberikan informasi detail mengenai agenda acara yang akan diikutinya, kecuali beberapa hari sebelum acara utama berlangsung. Transportasi diatur oleh panitia, dan hanya pada H-1, ia diberikan penjelasan singkat tentang kegiatan yang akan dilakukannya.
Ternyata, oknum yang bertanggung jawab atas acara tersebut telah membuat pengaturan sendiri tanpa berkonsultasi dengan rekan saya. Acara tambahan yang muncul tidak pernah dibahas secara resmi, termasuk tarif kompensasi. Ia langsung ditodong untuk mengikuti acara tambahan tersebut, meskipun tidak ada kesepakatan sebelumnya. Akibatnya, ia terpaksa menerima tawaran tersebut karena menghargai profesinya dan mengetahui hadirnya para tokoh yang dihormati dalam acara tambahan tersebut. Namun, ia menyatakan bahwa pengalaman ini membuatnya kapok terhadap lembaga provinsi tersebut karena kurangnya transparansi.
Kondisi seperti ini bukanlah hal baru dalam dunia profesional. Banyak orang berpendapat bahwa "bisnis tidak memiliki aturan baku" dan memilih untuk bekerja sesuai keinginan mereka sendiri. Apakah benar demikian? Apakah itu berarti kita bisa bersikap semau sendiri?
Pernyataan ini sering muncul di kalangan wirausaha, terutama di lingkungan usaha kecil dan menengah (UMKM) serta sektor kreatif di Indonesia. Ungkapan ini terdengar bebas, seolah bisnis adalah dunia yang sangat fleksibel dan penuh kreativitas. Namun, pandangan ini juga bisa menimbulkan pemahaman yang salah, yang berujung pada praktek tidak profesional, ketidakefisienan, bahkan konflik antar pelaku bisnis.
Secara konseptual, pernyataan "tidak ada aturan baku dalam bisnis" memang eksis dalam praktik bisnis. Drucker (1954) menyebut bisnis sebagai "purposeful organization", di mana tujuan, strategi, dan struktur ditentukan oleh konteks pasar dan karakteristik pelaku. Tidak ada satu resep universal untuk mencapai kesuksesan. Dalam pengertian ini, ungkapan tersebut benar adanya: strategi bisnis memang memerlukan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Namun, ketika fleksibilitas ini dipahami secara ekstrem sebagai "boleh semau sendiri", maknanya bergeser dari adaptasi menjadi anarki. Bisnis, betapa pun kreatif atau dinamisnya, tetap beroperasi dalam ekosistem yang diatur oleh prinsip dasar manajemen, administrasi, hukum, dan etika. Fayol (1916) menegaskan bahwa fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian adalah pilar universal dalam setiap bentuk organisasi. Dengan kata lain, tidak ada aturan baku bukan berarti tidak ada prinsip dasar.
Dalam prakteknya, banyak pelaku usaha menggunakan dalih "tidak ada aturan baku" untuk menghindari proses administratif, perencanaan strategis, atau pembuatan kontrak kerja yang jelas. Sikap ini sering disertai mentalitas "yang penting jalan dulu." Kondisi ini akan menciptakan eksekusi yang beresiko besar karena ketiadaan pembelajaran mendalam atas kondisi. Padahal, menurut Mintzberg (1994), strategi yang baik bukan hanya hasil perencanaan formal, tetapi juga proses pembelajaran yang disiplin dan reflektif baik di eksternal maupun internal. Tanpa arah strategis, bisnis beresiko berjalan secara reaktif, tergantung pada peluang sesaat, tanpa konsistensi nilai atau tujuan.
Dalam konteks bisnis jasa dan B2B (business-to-business), konsekuensi dari pemahaman keliru ini sangat nyata. Ketika klien berkata "yang penting jalan dulu" tanpa memberi arahan, timeline, dan indikator keberhasilan yang jelas, maka hubungan kerja menjadi multitafsir. Vendor mungkin memahami pernyataan itu sebagai kebebasan berkreasi, sementara klien menganggapnya sebagai instruksi minimal untuk "meniru yang sudah ada." Tetapi kondisi ini sering menjadi misalignment of expectations, yang sering berakhir pada blame game: klien merasa vendor tidak memenuhi harapan, sedangkan vendor merasa diminta bekerja tanpa panduan.
Dari perspektif budaya, Indonesia dikenal memiliki skor power distance yang tinggi dan budaya kolektivisme. Dalam praktek bisnis, hal ini sering tercermin dalam pola hubungan hierarkis yang kuat antara klien dan vendor, di mana pihak yang memegang uang atau otoritas merasa memiliki kendali penuh atas proses kerja. Dalam kondisi seperti ini, "tidak ada aturan baku" sering kali menjadi dalih untuk mempertahankan dominasi satu pihak atas pihak lain. Alih-alih mendorong kreativitas, kondisi semacam ini justru akan semakin melanggengkan ketimpangan relasi dan mengikis aspek profesionalitas.
Selain itu, dalih bahwa bisnis tidak memiliki aturan baku sering dihubungkan dengan warisan budaya dagang tradisional di Indonesia, di mana kepercayaan personal dan negosiasi informal lebih dihargai daripada kontrak tertulis. Budaya ini, meski fleksibel dan humanis, memiliki kelemahan serius di era digital dan globalisasi: tanpa dokumentasi dan sistem, akuntabilitas menjadi sulit ditegakkan.
Dari perspektif etika bisnis, "tidak ada aturan baku" juga tidak dapat dijadikan pembenaran untuk mengabaikan prinsip moral. Carroll (1991) menegaskan bahwa tanggung jawab bisnis mencakup dimensi ekonomi, hukum, etika, dan filantropi. Pada dunia phygital saat ini, perusahaan yang mengabaikan struktur formal tetapi juga melanggar etika atau kontrak sosial tidak dapat disebut inovatif, melainkan oportunistik dan "red flag."
Lebih jauh lagi, dalam era keterhubungan global, bisnis justru dituntut untuk memiliki standard of governance yang lebih kuat, bukan lebih longgar. OECD (2015) melalui Principles of Corporate Governance menekankan bahwa tata kelola yang baik (good governance) adalah prasyarat keberlanjutan dari ekonomi. Kejelasan peran, transparansi laporan, dan akuntabilitas bukanlah penghambat kreativitas, tetapi syarat agar kolaborasi lintas organisasi dapat berjalan sehat.
Secara psikologis dan manajerial, fleksibilitas tanpa struktur juga memicu stres dan ketidakpastian bagi pekerja maupun mitra bisnis. Tanpa SOP dan tujuan yang jelas, keputusan bisnis menjadi bergantung pada intuisi individu atau kekuasaan pemilik modal, yang belum tentu memiliki perspektif tajam di lapangan. Katz dan Kahn (1978) menyebut kondisi ini sebagai organizational ambiguity yang mengganggu motivasi dan efektivitas tim. Dalam jangka panjang, sistem kerja semacam ini menurunkan produktivitas dan meningkatkan turnover tenaga kerja.
Dengan demikian, pernyataan "tidak ada aturan baku dalam bisnis" seharusnya dipahami secara proporsional. Pernyataan ini benar sejauh menyangkut kreativitas, inovasi, dan adaptasi terhadap konteks yang terjadi di lapangan. Namun, pernyataan ini akan menjadi salah jika digunakan untuk menolak fundamental struktur, perencanaan, dan etika profesional. Seperti ditegaskan Schumpeter (1942), inovasi memang lahir dari disrupsi terhadap kebiasaan lama, tetapi disrupsi itu tetap berada dalam kerangka tanggung jawab sosial dan ekonomi. Tanpa prinsip, kebebasan hanya menjadi bentuk lain dari kekacauan.
Pada akhirnya, bisnis yang sehat bukanlah bisnis yang bebas tanpa aturan, melainkan bisnis yang mampu menyeimbangkan antara kebebasan berinovasi dan disiplin berorganisasi. Prinsip-prinsip universal yang telah terbaku dalam buku-buku teori manajemen bisnis seperti:
- Perencanaan strategis (Drucker, 1954)
- Kejelasan peran (Fayol, 1916)
- Komunikasi efektif (Barnard, 1938)
- Pengendalian (Anthony, 1965),
- dan etika (Carroll, 1991)
tetap relevan di era apapun. Maka, "tidak ada aturan baku dalam bisnis" tidak seharusnya ditafsirkan sebagai "boleh semau sendiri," melainkan sebagai ajakan untuk terus menyesuaikan prinsip dasar manajemen dengan dinamika zaman tanpa kehilangan integritas, arah, dan tanggung jawab profesional secara fundamental.
Posting Komentar