P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Geng Kriminal Tertua Brasil Diserang Polisi Narkoba

Featured Image

Operasi Kepolisian di Rio de Janeiro Berujung Tragedi

Operasi penggerebekan yang dilakukan oleh aparat kepolisian Brasil di kota Rio de Janeiro menimbulkan dampak yang sangat berat. Operasi ini ditujukan terhadap geng narkoba Comando Vermelho atau Red Command, tetapi berakhir dengan tragedi berdarah. Sebanyak 119 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka, menjadikannya sebagai operasi kepolisian paling mematikan dalam sejarah negara tersebut.

Lebih dari 2.500 polisi dan tentara dikerahkan dalam operasi tersebut pada hari Selasa (28/10/2025). Bentrokan sengit terjadi antara pasukan keamanan dan anggota geng, termasuk baku tembak dan ledakan dari drone yang digunakan oleh komando merah. Setelah operasi selesai, sebanyak 81 tersangka berhasil ditangkap. Namun, jenazah lebih dari 100 orang tergeletak di jalanan, termasuk 40 tubuh yang ditemukan berjejer di salah satu ruas utama kota.

Gubernur Rio de Janeiro, Claudio Castro, menyebut hari itu sebagai "hari bersejarah dalam perjuangan melawan kejahatan." Meski demikian, kelompok HAM mengkritik operasi tersebut sebagai bentuk kekerasan yang berlebihan. Cesar Munoz, Direktur Human Rights Watch di Brasil, menyatakan bahwa rangkaian operasi mematikan ini justru menciptakan rasa tidak aman, bukan meningkatkan keselamatan warga. Ia menyerukan agar kejaksaan membuka penyelidikan independen atas setiap kematian yang terjadi.

Asal Usul Comando Vermelho

Comando Vermelho, yang berarti “Komando Merah,” adalah kelompok kriminal tertua di Brasil. Menurut lembaga riset InSight Crime, geng ini lahir di penjara Candido Mendes di Pulau Ilha Grande pada 1970-an ketika para narapidana membentuk aliansi untuk saling melindungi. Gerakan ini terinspirasi oleh kelompok gerilya kiri yang menentang rezim militer pada masa itu.

Pada 1980-an, Red Command mulai terlibat dalam produksi dan perdagangan kokain serta menjalankan peran sosial di kawasan kumuh tempat mereka beroperasi. Saat ini, aktivitas mereka mencakup perdagangan senjata, pemerasan terhadap pedagang, penyelundupan, hingga pemberian layanan publik ilegal seperti distribusi gas, air, dan transportasi di wilayah yang mereka kuasai.

Menurut penelitian Julia Quirino, kandidat doktor di Universitas Federal Rio de Janeiro (UFRJ), Red Command bahkan telah mengembangkan aplikasi transportasi daring untuk memperluas kontrol wilayah dan sumber pendapatan. Dalam risetnya, ia menulis bahwa ini menunjukkan bagaimana kelompok bersenjata ilegal mengadopsi teknologi digital untuk memperkuat kekuasaan dan pendapatan mereka.

Quirino juga mencatat bahwa hanya sekitar 11 persen pendapatan Red Command berasal dari perdagangan narkoba, sementara sebagian besar berasal dari pemerasan dan bisnis ilegal lainnya.

Pengaruh Red Command di Kota Rio

Sejak 2022, Red Command semakin memperluas pengaruhnya, berhadapan dengan kelompok milisi yang sering memiliki hubungan dengan aparat keamanan. Laporan InSight Crime menyebut bahwa pada 2024, kelompok ini telah menguasai lebih dari separuh wilayah Rio de Janeiro dan bahkan memperluas operasi ke luar kota. Menurut Associated Press, pada akhir 2024 mereka mengendalikan setengah dari kotamadya di wilayah Amazon, naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

Kritik Terhadap Taktik Polisi

Meski pemerintah negara bagian menyebut operasi tersebut sebagai kemenangan melawan “narkoterorisme,” banyak pihak mengecam cara brutal yang digunakan. Marta Hurtado, juru bicara Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), menegaskan bahwa Brasil harus mengakhiri pola kekerasan ekstrem ini. Ia menekankan bahwa meskipun tantangan dalam menghadapi kelompok bersenjata seperti Red Command, Brasil harus memutus siklus kebrutalan ini dan memastikan penegakan hukum sesuai standar internasional.

Antara Politik dan Keamanan

Pendekatan keras Gubernur Castro dinilai sebagian analis sebagai upaya memperkuat citra politiknya di tengah meningkatnya kekhawatiran publik terhadap kejahatan terorganisir. Langkah ini juga disebut mencerminkan strategi garis keras ala mantan Presiden Jair Bolsonaro, yang dikenal mendukung operasi militer di kawasan miskin.

Namun, seorang aktivis lokal, Raull Santiago, menggambarkan situasi yang ia saksikan lebih menyerupai pembantaian. Ia menyampaikan bahwa ia melihat orang dieksekusi—ditembak di kepala, di punggung, ditusuk, bahkan diikat. Ia menilai tidak ada kata lain selain “pembantaian.”

Posting Komentar

Posting Komentar

Komentar untuk berinteraksi dengan komunitas Brokerja.com. Dapatkan informasi tips terbaru disini.