
Kritik terhadap Raperda Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta
Rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta bersama DPRD dalam mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) mendapat kritik dari berbagai kalangan. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai, aturan yang terlalu ketat justru berpotensi memukul ekonomi rakyat kecil dan memperlebar kesenjangan sosial.
Polemik ini muncul setelah Panitia Khusus (Pansus) DPRD DKI Jakarta menyelesaikan pembahasan Raperda KTR yang terdiri dari 27 pasal dalam 9 bab dan segera menyerahkannya ke Badan Pembentukan Perda (Bapemperda) untuk proses lanjutan.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF M. Rizal Taufikurahman menilai kebijakan ini terlalu eksesif dan tidak mempertimbangkan realitas sosial ekonomi warga Jakarta. Ia menegaskan bahwa pedagang kecil merupakan bantalan ekonomi Jakarta. Jika larangan penjualan diterapkan, efek domino negatifnya mencakup turunnya omzet, lesunya daya beli, dan meningkatnya pengangguran terselubung. Kondisi ini bisa menekan stabilitas sosial dan memperlebar kesenjangan ekonomi di tingkat bawah.
Ia juga menyoroti, pembuat kebijakan seolah mengabaikan fakta bahwa sektor informal dan pedagang kecil adalah tulang punggung ekonomi ibu kota. Menurutnya, larangan yang tidak diimbangi solusi transisi bisa menghantam sumber penghidupan warga. Lebih jauh, Rizal juga memperingatkan soal potensi hilangnya pendapatan daerah hingga 50 persen dari sektor pertembakauan, sebagaimana diakui Pansus DPRD DKI Jakarta.
Menurut Rizal, bukan langsung memangkas sumber penerimaan tanpa pengganti yang siap. Oleh karena itu, Ranperda KTR seharusnya mengedepankan keseimbangan antara kesehatan publik dan keberlanjutan ekonomi rakyat. Ia menilai, Pemprov DKI perlu mengambil langkah transisi fiskal yang gradual, salah satunya dengan memaksimalkan dana Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk program pemberdayaan ekonomi dan pembangunan.
Raperda KTR DKI Jakarta harus dibahas dengan pendekapan yang adaptif dan proporsional lebih efektif. Fokus pada edukasi dan kawasan publik bebas rokok, namun tetap beri ruang legal bagi usaha mikro agar kebijakan ini inklusif dan tidak menimbulkan eksklusi ekonomi baru. INDEF menegaskan, semangat menciptakan lingkungan sehat perlu tetap dijaga, namun tidak boleh mengorbankan keberlangsungan ekonomi rakyat kecil.
Rizal menilai, Pemprov DKI perlu meninjau ulang Raperda KTR dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Jakarta memang perlu kawasan tanpa rokok, tapi jangan sampai niat baik kesehatan publik berubah jadi bumerang bagi ekonomi rakyat.
Penolakan terhadap Raperda KTR juga datang dari Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DKI Jakarta. Ketua Dewan Pertimbangan Wilayah APPSI DKI Jakarta Ngadiran menyebut, pasal-pasal pelarangan penjualan rokok akan memperparah kesulitan ekonomi para pedagang pasar. Saat ini, rata-rata omzet pedagang pasar sudah turun sampai 60 persen. Semua pelarangan dalam Raperda KTR itu sangat menyusahkan pedagang kecil, pengecer, asongan, dan lainnya. Kami sebagai wadah pedagang pasar tradisional dan UMKM, minta betul-betul agar pasal tersebut dibatalkan.



Posting Komentar