P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Norwegia Hentikan Investasi di Israel

Featured Image

Perubahan Investasi Global dan Dampaknya pada Israel

Dana kekayaan terbesar di dunia mengambil langkah penting dengan melepas investasi dari perusahaan Israel, menandai awal dari aksi divestasi yang berkembang akibat konflik di Gaza. Pertanyaannya adalah, apakah sanksi global, penjualan aset, dan boikot bisa memicu perubahan signifikan di Israel?

Pemerintah Israel tidak merespons secara langsung terhadap keputusan Norwegia untuk melakukan divestasi dari sejumlah perusahaan Israel. Alasan utamanya adalah etika kemanusiaan yang terkait dengan perang di Gaza. Dana pensiun Norwegia senilai USD2 triliun mengumumkan akan menarik investasi dari 11 perusahaan yang terkait dengan Israel, serta memutus kontrak dengan manajer aset yang beroperasi di negara tersebut. Keputusan ini diambil setelah tinjauan darurat, menyusul laporan bahwa pengelola dana negara tersebut menanam modal di perusahaan pemasok komponen jet tempur militer Israel.

Media Israel menyebut tindakan Norwegia sebagai "sangat mengkhawatirkan” dan "bermotif politik.” Namun, beberapa analis percaya bahwa pejabat Israel sengaja menjaga sikap tenang agar tidak memperkuat gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) yang selama dua dekade terakhir gencar mengkampanyekan pemboikotan terhadap Israel.

Kemenangan Simbolis BDS

Sejak didirikan pada 2005, gerakan BDS berhasil mencapai kemenangan simbolis maupun material dengan menekan institusi, perusahaan, dan pemerintah agar memutus hubungan dengan entitas Israel yang terlibat dalam pendudukan wilayah Palestina. Gerakan ini sering dituduh antisemit oleh Israel dan Amerika Serikat. Bundestag Jerman bahkan meloloskan resolusi pada 2019, yang ditegaskan kembali pada 2024, menyebut BDS sebagai gerakan "antisemit” dan melarangnya menerima dana publik.

BDS mendapatkan momentum baru setelah Israel meluncurkan operasi militer di Gaza pasca serangan 7 Oktober 2023 oleh Hamas. Tekanan itu mendorong divestasi besar dari AXA dan Scotiabank, serta keluarnya Samsung Next dan 7-Eleven dari Israel. Kampanye konsumen yang digerakkan oleh BDS juga menghantam McDonald's dan Pret, sementara sejumlah kota serta universitas di AS meloloskan resolusi untuk memutus hubungan dengan perusahaan yang terkait Israel.

Ekonom Universitas Haifa, Benjamin Bental, memperingatkan bahwa divestasi Norwegia bisa menjadi preseden berbahaya. "Norwegia mengirim sinyal soal aktivitas perusahaan Israel yang tidak disukainya, dan bisa diikuti pihak lain. Jika bendungannya jebol dan menjadi banjir, dampaknya bisa sangat besar,” ujarnya kepada DW.

Tinjauan Investasi Norwegia di Israel

Dana kekayaan negara Norwegia tercatat sebagai yang terbesar di dunia. Lembaga ini memiliki saham di 65 perusahaan Israel pada akhir 2024 dengan nilai sekitar USD1,95 miliar, dan masih memegang hampir 50 di antaranya. Dana tersebut menyatakan sedang meninjau ulang seluruh kepemilikan agar sesuai hukum internasional. Gerakan BDS menyebut keputusan Norwegia sebagai "kemenangan etis besar.” Serikat pekerja LO, salah satu yang paling berpengaruh di Norwegia, bahkan mendesak pemerintah agar mengambil sikap lebih keras, setelah anggotanya mendukung pemboikotan penuh terhadap Israel.

Keputusan Norwegia mengikuti jejak divestasi serupa di Eropa. Pada April tahun lalu, dana investasi strategis ISIF Irlandia melepas saham di enam perusahaan Israel, sementara sejumlah dewan lokal di Inggris mewajibkan dana pensiun nasional melakukan divestasi dari Israel. Banyak keputusan itu dikaitkan dengan proyek permukiman Israel di Tepi Barat yang oleh PBB dan Uni Eropa dinyatakan ilegal.

Dampak Boikot dan Divestasi terhadap Ekonomi Israel

Meskipun demikian, dampak boikot dan divestasi terhadap ekonomi Israel dinilai masih terbatas. Dany Bahar, peneliti senior di Centre for Global Development, mengatakan: "Belum terjadi dalam skala yang mampu mengguncang ekonomi Israel. Itu tak ada apa-apanya dibanding tarif yang dikenakan Trump pada Israel, yang merupakan ‘boikot terburuk’ yang pernah dialami.”

Pada April lalu, Presiden AS Donald Trump menetapkan tarif 17% bagi barang Israel yang masuk ke AS, meski Israel sudah menghapus semua tarif atas impor dari AS. Angka itu kemudian diturunkan menjadi 15%. Menurut Bahar, meski Norwegia melepas asetnya, pasar investasi Israel tetap tangguh. "Akan ada pihak lain yang membeli, karena perusahaan-perusahaan itu bagus. Israel punya banyak yang bisa diekspor dalam hal pengetahuan dan produk, dan investor menyadarinya,” katanya.

Bank of Israel mencatat, meski ada ketegangan geopolitik dan kampanye BDS, investasi asing di Israel pulih dari hanya USD8 miliar pada 2023 menjadi sekitar USD27 miliar pada 2024.

Ancaman Sanksi Internasional

Di tahun terakhir jabatannya, Presiden AS Joe Biden menjatuhkan sanksi pada 19 pemukim Israel dan delapan entitas atas kekerasan di Tepi Barat, yang kemudian dicabut Trump pada Januari. Lebih dari 30 negara bagian AS, termasuk Texas dan Florida, punya undang-undang anti-BDS yang melarang lembaga negara bermitra dengan entitas pemboikot Israel. Inggris, Prancis, dan Kanada membatasi pergerakan serta aset pemukim Israel yang dituduh melakukan kekerasan. Uni Eropa juga memasukkan kelompok sayap kanan Israel ke daftar hitam. Sementara Washington memblokir akses finansial individu yang terkait kerusuhan.

Sembilan negara lain, termasuk Afrika Selatan, Bolivia, dan Malaysia, melangkah lebih jauh dengan menjatuhkan sanksi ekonomi penuh, termasuk pelarangan penjualan senjata dan pengiriman bahan bakar. Jerman, sekutu dekat Israel, bahkan menghentikan ekspor militer yang bisa digunakan di Gaza dengan alasan krisis kemanusiaan yang memburuk. Uni Eropa kini tengah mempertimbangkan membatasi akses Israel ke dana riset Horizon Europe senilai USD111 miliar, meski belum ada konsensus.

Prancis, Spanyol, Irlandia, dan Slovenia mendorong langkah lebih tegas, sementara Jerman, Italia, dan Hungaria menolak. Bental menegaskan sanksi Uni Eropa akan berdampak serius pada perusahaan Israel, mengingat hampir sepertiga ekspor negara itu ditujukan ke UE, yang menyumbang sekitar 1% dari PDB Israel. Bahar mengakui risiko itu, namun menilai keterlibatan Israel yang dalam dalam inovasi dan perdagangan global membuat tekanan internasional sulit memutuskan hubungan. "Apa pun pandangan soal Israel dan perang, negara ini punya keahlian luar biasa dalam rekayasa dan pengembangan. Ekonominya sudah begitu terhubung ke dunia, sehingga tidak mudah dipisahkan,” ujarnya.

Posting Komentar

Posting Komentar

Komentar untuk berinteraksi dengan komunitas Brokerja.com. Dapatkan informasi tips terbaru disini.