P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Hindari Royalti LMKN, Pengusaha Otobus Putar Video Ludruk atau Pengajian

Featured Image

Pengusaha Otobus Menghindari Royalti Musik dengan Memutar Konten Tradisional

Pengusaha otomotif dan bus di Pasuruan mulai menghadapi penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 terkait pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik. Aturan ini memicu kekhawatiran bagi sejumlah pelaku usaha, terutama karena adanya kewajiban pembayaran royalti jika menggunakan musik yang sudah terdaftar atau masuk dalam kategori LMKN.

Suryono Pane, pemilik bisnis otobus Kopi Langit 81, menjelaskan bahwa pihaknya mencoba menghindari tagihan tersebut dengan memutar berbagai konten alternatif seperti video lawak atau pengajian. Menurutnya, aturan ini tidak sepenuhnya jelas dan kurang disosialisasikan secara baik kepada para pengusaha.

"Jika dilihat dari PP tersebut, pengusaha otobus akan dikenakan royalti jika menggunakan musik atau lagu yang sudah didaftarkan atau masuk kategori di LMKN. Kami saat ini mencoba menghindarinya," ujarnya.

Untuk menggantikan musik yang bisa menimbulkan tagihan, Suryono meminta kru bus untuk memutar video ludruk, campursari, atau acara pengajian dari tokoh-tokoh ternama. Beberapa contohnya termasuk ludruk Kirun cs, Kartolo cs, pengajian Ahmad Bahauddin Nursali (Gu Baha), Ustaz Adi Hidayat, atau Muhammad Iqdam Kholid (Gus Iqdam).

"Sekarang saya telah memberi instruksi kepada kru bus untuk lebih banyak memutar seni tradisional seperti lawakan atau ludruk," tambahnya.

Suryono merasa kecewa dengan pemerintah karena penarikan royalti tidak diiringi sosialisasi yang cukup. Baginya, tindakan ini terkesan seperti premanisme yang berkedok pajak. Ia berharap ada penjelasan lebih rinci mengenai lagu-lagu yang tidak masuk kategori royalti atau musik yang dihibahkan oleh pencipta.

Selain itu, kondisi usaha otobus saat ini berbeda dibanding tahun lalu. Penumpang tidak sebanyak dulu akibat situasi ekonomi yang memburuk serta larangan kunjungan luar kota bagi siswa. Sementara itu, biaya operasional tetap tinggi dan cenderung meningkat.

"Saya baru lima tahun memulai usaha otobus ini. Jika regulasi terlalu rumit dan tidak banyak diketahui, tentu sangat memberatkan," katanya.

Wawan, salah satu kru bus, juga mengaku bingung dalam melayani penumpang tanpa memahami kategori musik yang terkena tarif royalti. Mereka berpikir semua musik yang beredar sudah bisa dinikmati tanpa harus terkena pajak.

"Kalau nyetel musik lewat handphone, kita sudah beli paket data. Sudah bayar, kok juragan harus bayar lagi gara-gara musik?" ujarnya.

Ia berharap pemerintah tidak membuat aturan yang terlalu rumit sehingga menghambat perekonomian rakyat kecil. "Tidak semua usaha terkena pajak. Kalau dikit-dikit pajak, susah kita. Harusnya lebih bijak dalam menerapkan pajak," harapnya.

Posting Komentar

Posting Komentar

Komentar untuk berinteraksi dengan komunitas Brokerja.com. Dapatkan informasi tips terbaru disini.