P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

MK Hentikan Kewajiban Tapera, Pekerja Tidak Wajib Ikut!

Featured Image

Putusan Mahkamah Konstitusi Mengubah Status Tapera

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengambil keputusan penting terkait status Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam sidang pleno yang digelar di Gedung MK, Jakarta, pada Senin 29 September 2025, MK memutuskan bahwa kepesertaan Tapera tidak lagi bersifat wajib. Keputusan ini merupakan hasil dari pengujian materi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera.

Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU Tapera yang mewajibkan pekerja dan pekerja mandiri menjadi peserta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, putusan tersebut menegaskan bahwa UU tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat hingga dilakukan penataan ulang. Hal ini disampaikan saat membacakan amar putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024.

Permohonan uji materi ini diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Mereka menggugat beberapa pasal dalam UU Tapera, termasuk Pasal 9, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 54, dan Pasal 72, karena dinilai memberatkan para pekerja.

Pendapat Wakil Ketua MK

Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan bahwa konsep tabungan harus didasari pada unsur kesukarelaan dan persetujuan. Ia menilai bahwa penggunaan kata “wajib” dalam Pasal 7 ayat (1) mengubah makna tabungan menjadi pungutan yang bersifat memaksa. Menurutnya, hal ini tidak sesuai dengan hakikat tabungan yang sebenarnya karena tidak lagi terdapat kehendak bebas.

Selain itu, Saldi menambahkan bahwa Tapera tidak termasuk kategori pungutan resmi sebagaimana dimaksud Pasal 23A UUD 1945. Aturan kewajiban Tapera juga dinilai menimbulkan beban ganda bagi pekerja, terutama yang sudah memiliki rumah.

Pandangan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa persoalan mendasar UU Tapera bukan hanya satu pasal, tetapi desain hukum secara keseluruhan. Menurutnya, skema Tapera yang hanya mengembalikan simpanan di akhir masa kepesertaan tidak mampu memenuhi tujuan utama, yakni akses terhadap rumah layak dan terjangkau.

“Dengan demikian, Pasal 7 ayat (1) UU Tapera harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. UU 4/2016 secara keseluruhan kehilangan dasar konstitusionalnya,” tutur Enny.

Tenggat Waktu untuk Penyusunan Kembali Regulasi

Meski putusan MK membatalkan kewajiban kepesertaan Tapera, MK memberikan tenggat waktu dua tahun kepada pemerintah dan DPR untuk menata ulang sistem pembiayaan perumahan agar tidak terjadi kekosongan hukum. Selama masa tersebut, UU Tapera dinyatakan tetap berlaku dengan kewajiban penyesuaian.

Respons DPR terhadap Putusan MK

Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Syaiful Huda, menanggapi putusan MK yang menyatakan UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dilakukan perubahan. Meski menghormati putusan tersebut, ia menilai substansinya masih bisa diperdebatkan.

“Kami tentu menghormati putusan MK terkait UU Tapera karena sifatnya final dan mengikat. Namun, secara substansi putusan ini debatable, sebab UU Tapera lahir dengan tujuan agar pekerja bisa lebih mudah mendapatkan rumah,” kata Syaiful.

Menurut Syaiful, bila MK menilai Tapera mengandung unsur pemaksaan, maka hal itu merupakan sudut pandang yang sah secara konstitusi. Ia menegaskan, konsekuensi putusan tersebut menjadi pekerjaan tambahan bagi Kementerian Permukiman dan Perumahan (PKP) dalam mencari alternatif pendanaan program prioritas Presiden berupa pembangunan tiga juta rumah.

Tantangan dan Peluang Masa Depan

Syaiful menambahkan bahwa realisasi program perumahan bukan hanya untuk mengurangi backlog yang mencapai jutaan unit, melainkan juga untuk menggerakkan perekonomian nasional. “Program tiga juta rumah jangan dimaknai sekadar memenuhi backlog, tetapi juga sebagai upaya menggulirkan perekonomian melalui penyerapan tenaga kerja, pergerakan UMKM, hingga logistik bangunan,” tegasnya.

Sementara itu, anggota Komisi V DPR RI, Danang Wicaksana Sulistya, menyatakan pihaknya siap membahas ulang regulasi Tapera bersama pemerintah. Menurutnya, sinergi lintas lembaga sangat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan perumahan di Indonesia.

“Ke depan kita perlu saling sinergi dan saling dukung, terutama pemerintah, agar backlog perumahan bisa ditekan bahkan menuju nol. Ini perlu banyak inovasi, apalagi program tiga juta rumah menjadi salah satu bagian dari asta cita Presiden Prabowo,” kata Danang.

Ia menambahkan, DPR akan membahas isu ini lebih lanjut dalam rapat kerja bersama Kementerian PKP serta melibatkan lintas fraksi. “Kami di DPR pasti mendukung, dan akan mendiskusikan hal ini bersama pimpinan serta seluruh fraksi,” pungkasnya.

Posting Komentar

Posting Komentar

Komentar untuk berinteraksi dengan komunitas Brokerja.com. Dapatkan informasi tips terbaru disini.